Tempat Tinggal Setelah Menikah


Ada kelebihannya tinggal di rumah sendiri, baik kontrakan maupun hak milik, bagi mereka yang baru saja membangun rumah-tangga. Dengan tempat tinggal yang terpisah sehingga kita bisa mengatur sendiri roda rumah-tangga, kita bisa belajar secara lebih leluasa untuk saling mengenal, memahami secara lebih baik dan sekaligus membina kepekaan. Ketika suami-istri merasakan peluh perjuangan dalam meletakkan fondasi keluarga, insya-Allah akan dapat mengokohkan arah dan misi perkawinan. Perkawinan melahirkan kekuatan jiwa pada masing-masing anggotanya,kecuali jika masing-masing tidak memiliki kedewasaan yang cukup. Darinya lahir orang-orang yang memiliki kejelasan arah dan keberanian berjuang. Inilah yang dibutuhkan untuk masa depan masyarakat yang lebih mulia.
Sepanjang sejarah, orang-orang besar yang membawa kemuliaan bagi umat manusia lahir dari keluarga yang memiliki kekuatan jiwa. Jiwalah yang menyimpan kekuatan dan kekayaan. Jiwa yang besar dan kokoh mampu mencairkan gunung- gunung batu yang keras. Tetapi, jiwa yang kerdil justru menyembunyikan kelemahan di balik apa-apa yang tampak sebagai kekuatan. Lihatlah Baghdad setelah masa Nizamul Mulk lewat. Bangsa yang besar dengan sejumlah kemajuan peradaban itu, segera jatuh dan habis oleh serangan Tartar yang waktu itu masih belum berbudaya.
Dan dengan tempat tinggal yang terpisah dari orang lain, insya-Allah kita bisa lebih menghayati bagaimana membangun kekuatan jiwa untuk membentuk orientasi yang kokoh. Dalam rumah sederhana yang kita atur sendiri kita mempunyai kesempatan untuk menguati dan melengkapi. Melengkapi secara fisik dengan perabot-perabot rumah-tangga yang diperlukan, maupun melengkapi secara psikis dengan hati yang menerima, jiwa yang rela dan kesediaan untuk berjuang bersama- sama.
Jika kita mau menengok sejenak ke masa Rasulullah Saw dan para sahabat, kita melihat bahwa keluarga-keluarga yang baru saja terbentuk memulai kehidupan berumah-tangga dalam
rumah yang terpisah dari orangtua. Fathimah putri Rasulullah, tinggal di rumah sederhana bersama suaminya Ali bin Abi Thalib dengan perabot rumah tangga yang dibeli dari sebagian mahar. Padahal mahar yang diterima Fathimah dari Ali bin Abi Thalib tidak terlalu besar untuk ukuran waktu itu maupun untuk ukuran waktu sekarang. Barangkali keseluruhan yang dikeluarkan untuk ke- pentingan tersebut tidak lebih besar dibanding sebuah prosesi perkawinan yang sangat sederhana di negeri kita yang jarang lahir orang besar ini. Wallahu A’lam bishawab.

Ketika menikah, Ali tidak memiliki sebuah rumah yang akan ditempati untuk hidup berumah-tangga. Fathimah meminta sebuah rumah pada ayahnya, kata ‘Abdurrahman Asy-Syarqawi dalam buku Muhammad Sang Pembebas. Tapi ayahnya menolak keras permintaannya. Lalu datanglah seorang laki-laki kaya dari kalangan Anshor yang bermaksud untuk memberikan sebuah rumah yang mungil di antara rumah yang dimilikinya pada kedua suami-istri yang masih muda belia. Ali dan Fathimah tidak mau menerima pemberian laki-laki tersebut. Akan tapi laki-laki itu bersumpah tak akan memasuki rumah itu selama-lamanya. Laki-laki itu tetap bersikap keras untuk memberikan rumahnya, hingga akhirnya Muhammad Saw. membolehkan mereka berdua menerima pemberian itu dengan cara jual-beli. Tidak dengan cara hibah.
Begitu Fathimah putri Rasulullah dan Sayyidina Ali membangun rumah- tangganya. Bagaimana dengan pengantin baru lainnya? Mari kita tengok Asma’ binti Abu Bakar yang baru saja menikah dengan Az-Zubair. Ayahnya adalah seorang pedagang kaya yang sukses (kelak kita mengenalnya sebagai khalifah Rasulullah
yang pertama). Ketika mengungsi ke Yatsrib, Abu Bakar membawa kekayaan yang
bernilai empat puluh ribu dirham Makkah, ukuran yang sangat besar waktu itu. Abu Bakar memang sangat kaya waktu itu. Tetapi bagaimana dengan keluarga Asma’ binti Abu Bakar dengan Az-Zubair?
Mari kita dengar penuturan Asma’ binti Abu Bakar:
“Az-Zubair mengawiniku,” kata Asma’, “Di bumi ini dia tidak memiliki harta atau hamba atau apapun kecuali unta dan kudanya. Akulah yang memberi makan kudanya, menimba air, menjahit timba airnya (yang terbuat dari kulit) serta membuat adonan.... Aku juga biasa mengangkut biji kurma dari tanah Az-Zubair yang diserahkan kepadanya oleh Rasulullah Saw. di atas kepalaku. Tanah itu jauhnya kira- kira dua pertigafarsakh (2 mil)... hingga Abu Bakar mengirimkan seorang pelayan kepadaku setelah itu untuk menggantikanku mengurusi kuda. Dengan demikian se- olah-olah dia memerdekakanku.” (HR Bukhari dan Muslim).
Salah satu manfaat tinggal di rumah sendiri, baik kontrakan maupun hak milik, adalah istri bisa berusaha melepaskan ikatan-ikatan keluarganya3 untuk memulai satu warna kehidupan rumah-tangga yang baru bersama suaminya. Ia belajar mengatur rumah-tangga sekaligus menyelami pikiran, semangat, dan perasaan suaminya. Sehingga ia bisa betul-betul mengenal suaminya dengan baik. Ini sangat penting bagi kelangsungan kehidupan rumah-tangga yang sejuk dan penuh kasih-sayang sesuai dengan keunikan pribadi masing-masing, sejauh tidak melanggar batas-batas agama.
Kondisi ini merupakan fondasi untuk mendidik anak setelah mereka mendapatkan amanah tersebut dari Allah Swt. Cita-cita melahirkan keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah sulit untuk tercapai jika kedua orangtua anak itu belum memiliki bekal jiwa yang mantap dan kokoh. Bagaimana orangtua harus memberikan pendidikan yang akan menumbuhkan
syaja’ah(k eberanian), (kemampuan menahan diri), dan (harga diri) jika iffah izzah
orang tuanya masih berkubang dengan kurangnya kehangatan dalam hubungan
suami-istri?
Wallahu A’lam bishawab wastaghfirullahal ‘azhim.
Dalam rumah-tangga kita menginginkan kedamaian. Kita mengharapkan suasana keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, sehingga masing- masing anggota keluarga merasakan rumah mereka sebagai tempat peristirahatan yang memberikan keteduhan jiwa, kelapangan dan kedamaian. Tetapi adalanya keluarga yang baru belajar berumah-tangga harus mengalami benturan-benturan sampai menyebabkan mereka saling mendiamkan.
Situasi semacam ini tidak perlu terjadi. Tetapi adakalanya, situasi konflik yang lahir karena masing-masing masih kurang mampu menyesuaikan diri, “menuntut” sikap khusus yang tidak memungkinkan ketika mereka tinggal dalam satu rumah dengan orangtua atau mertua. Alhasil, mereka harus tampil dengan topeng manis di depan anggota keluarga lainnya tanpa ada pengendapan masalah secara jernih. Akibatnya, mereka mengalami konflik-konflik tersembunyi. Na’udzubillahi min
dzalik. Allahu A’lam bishawab.
Saya kira cukup sampai di sini pembicaraan kita tentang manfaat tinggal di rumah sendiri. Masih ada manfaat lain, yaitu suami-istri bisa belajar bertaba’ul dengan lebih baik serta lebih memungkinkan terbentuk kedekatan yang lebih erat antara suami dan istri. Tetapi saya kira lebih baik kita membicarakan beberapa hal yang perlu kita perhatikan kalau kita akhirnya memutuskan untuk mengontrak rumah. Adapun bagi Anda yang telah memiliki rumah hak milik, bisa langsung menyimak bab berikutnya Saat Tepat untuk Berhias. Atau, Anda bisa mempertimbangkan untuktinggal bersama orangtua. Tentang ini insya-Allah akan kita bicarakan di bagian akhir bab ini.

Dikutip  dari buku "Kado Pernikahan Untuk Istriku "

0 komentar:

Posting Komentar

 free web counter Counter Powered by  RedCounter

About this blog

Semoga media ini bisa menambah timbangan amalku di akhirat kelak, Amiin Ya Rabbal 'alamiin. kirimkan kritik dan saran ke alamat penjagaquran@gmail.com

Buletin Jum'at

Fatwa Rasulullah

Doa dan Dzikir Rasululah SAW

Biografi Tokoh

1 day 1 ayat

Arsip Blog

Download


ShoutMix chat widget
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku