Assalamu'alaikum wr. wb. Seandainya ada yang mengetahui, bagaimanakah sejarah/latar belakang turunnya ayat Al-Qur'an mengenai diharamkannya babi? Jawaban: Memang, sampai sekarang kami sendiri belum pernah menemukan sebab-sebab [kesehatan, kultural, sosial, politik dan budaya] di sekitar turunnya ayat tentang pengharaman babi. Tetapi masalah ini sempat dibahas di forum dialog di Canberra. Seorang yang dinilai cukup mengerti masalah hukum agama "berspekulasi" [karena tidak dalil]. Katanya: "pengharaman tersebut ada kaitannya dengan ekosisten dan keseimbangan ekologis". Maksudnya, karena di Arab dulu, babi sangat sedikit, lalu jika dihalalkan maka babi akan punah. Bukankah, kata orang yang pernah memakannya, babi ikut enak. Takut akan kepenuhan tersebut lalu babi kemudian diharamkan. Tapi ingat ini sebuah "hasil spekulasi". Boleh saja orang berfikiran seperti ini. Kemudian ada yang menghubungkannya dengan struktur/anatomi biologis babi. Dalam penelitian medik, anatomi biologi babi paling mirip dengan struktur tubuh manusia. Ini dibuktikan dengan banyaknya organ babi yang dapat ditransflantasikan ke tubuh manusia [setahu kami belum ada binatang yang tingkat kompatibilitasnya yang begitu tinggi untuk urusan transflantasi]. Lalu ada yang kemudian menggunakan media "qiyas" disini. Jika manusia dilarang untuk "dimangsa", maka babipun dilarang untuk dimakan. Betul, tidak semua ayat al-Qur'an atau hadith Rasulullah ada latar belakang turunnya. Karena ayat berupa panduan [hidayah], maka tidak jarang ayat al-Qur'an diwahyukan sebagai refleksi transendental [lintas ruang dan waktu] untuk memandu umat manusia dalam bersikap, walaupun terkadang hal yang dipandu tersebut belum terjadi di zaman Nabi dulu, seperti ayat yang bercerita tentang kemungkinan untuk menembus ruang antariksa. Terus, menurut kami, ada sisi lain yang lebih menarik untuk dijadikan dasar penjabar tentang pengharaman babi. Kalau saudari simak dalil-dalil [nash-nash] yang menerangkan status keharaman binatang, setahu kami, hanya ada satu nama binatang yang dengan tegas disebutkan disebutkan pengharamannya oleh al-Qur'an, yaitu babi. Selebihnya, pengharaman hanya berupa penggambaran karakter khusus binatang yang diharamkan, seperti dzi naab "bertaring" dan dzi mikhlab "bercakar". Itupun melalui media hadith. Tanda ini menggambarkan sifat binatang pemangsa. Langkanya penyebutan nama binatang yang diharamkan tersebut justru menarik ketika kita berupaya mencermati alasan pengharamannya. Betul kata pak Abudin pengharaman ini merupakan hak prerogatif Allah. Di balik semua itulah tersimpat nilai teologisnya. Terus terang sulit logika kita untuk dapat menerima alasan pengharamannya. Di sinilah peran iman diuji. Bukankah dalam isu-isu yang besar dan logika sulit untuk menerima, kemudian iman menjadi satu-satunya pijakan untuk mengukur kesetiaan seorang yang beriman kepada Allah? Sebetulnya, semua agama "samawi" mengharamkan babi, termasuk Nasrani dan Yahudi. Dilihat dari sini, pengharaman babi tersebut sudah merupakan kultur agama yang cukup panjang. Oleh sebab itu, ada satu cerita "Israiliyyat" yang menarik untuk disimak di sekitar pengharaman babi. Konon, katanya, ketika terjadi banjir besar di era nabi Nuh [Noach], beliau dititahkan oleh Allah untuk membawa binatang sepasang-sepasang. Lalu nabi Nuh disuruh "berfatwa" kepada semua binatang agar tidak kawin selalu pelayaran di atas kapal. Kan gawat akibat kawin tersebut. Biasanya setelah kawin, binatang mudah bunting. Bayangkan kalau ini yang terjadi, bisa-bisa karam kapal nabi Nuh. Kalau ini yang terjadi, pupuslah harapan Nuh untuk menyelamatkan umat manusia dari kepunahan. Karena, babi adalah satu-satunya binatang yang membandel, tidak mau mentaati titah nabi Nuh [kaya iblis yang tidak mau tunduk kepada kehendak Allah] maka babi kemudian dikutuk selamanya untuk tidak fungsional [useless] buat kelangsungan hidup umat manusia. Cerita inipun tentunya tidak memuaskan banyak orang, tetapi paling tidak sedikit dapat menambah wawasan yang sedikit bernuansakan spekulatif.
0 komentar:
Posting Komentar