Pertanyaan: > saya mohon penjelasan mengenai ajaran islam, jika dalam suatu keluarga penghasilan istri lebih besar dari penghasilan suaminya. bagaimanakah ajaran2 islam dalam menghadapi masalah ini. yang saya ketahui hingga saat ini bahwa seorang suami wajib menafkahi istrinya dan kewajiban istri menerima nafkah yang diberikan suami berapapun. > saya sangat mengharapkan penjelasan dari para ustadz & ustadzah mengenai masalah ini. sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih. Jawaban: Wa alaikum salam. Betul secara konvensional, dalam fiqh atau hukum perkawinan Indonesia, suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri dan keluarganya. Apakah ini yang menjadi pesan utama dari moralitas ajaran kewajiban memberi nafkah? Kami ingin melihat permasalahan yang saudara tanyakan dari sisi lain, dari sosiologi hukum Islam. Pertama, dalam norma dasar hukum, Islam membebankan pertanggungjawab/kewajiban terhadap orang yang memiliki kelebihan di atas individu yang dia tanggung. Kedua, pendefinisian kewajiban suami untuk memberi nafkah mengacu pada segragasi dikotomis tentang fungsi suami-istri dalam rumah tangga. Dalam pendekatan fungsional ini, setiap anggota dalam institusi sosial seperti keluarga, tidak boleh memerankan fungsi ganda sementara peran dan fungsi lainnya mengalami kekosongan. Ketiga, dalam konteks inilah, kemudian terjadi pembagian tugas dan kewajiban. Atas dasar sosial-kultural tertentu, lalu suami dibebani kewajiban memberi nafkah, sementara istri ditugasi untuk menjalankan peranan domestik. Kewajiban suami dan istri di atas mengacu pada modal/kapital sosial-kulutral yang dimiliki oleh mereka. Secara sosial-kultural, terutama di masyarakat arab yang patriarkhal, dunia laki-laki lebih luas dan lebih menguntungkan dibandingkan dunia gerak wanita. Akibatnya, laki-laki lebih mudah untuk mencari nafkah. Atas dasar kemudahan tersebut, kemudian logis, jika laki-laki, suami, dibebani kewajiban memberi nafkah kepada istri dan keluarganya. Keempat, sejauh peran sosial manusia tidak permanen, dapat berubah sewaktu-waktu, maka pendefinisian tugas dan kewajiban dalam keluarga juga harus meresponi perubahan ini. Artinya, jika sang suami penghasilannya di bawah penghasilan istri, maka istri berkewajiban menafkahi keluarganya. Kelima, sebetulnya kami tidak sependapat dengan pemikiran yang membagi tugas dan kewajiban keluarga secara kaku. Alasannya, karena berumah tangga adalah hajat bersama, suami-istri, maka keduanya berkewajiban untuk mengatasi beban dan persoalan bersama, termasuk dalam hal nafkah. Artinya, suami-istri secara kolektif berkewajiban untuk menafkahi rumah tangga mereka sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Terakhir, kami ingin mengatakan bahwa kewajiban menafkahi keluarga dibebankan pada pundak suami atau istri yang mempunyai kemampuan untuk menjalankan tugas tersebut. Hal ini [menurut pemahaman kami] sejalan dengan pesan moral ayat-ayat yang bertutur tentang kewajiban memberi nafkah. Dari ayat-ayat tersebut dapat ditangkap satu makna bahwa mereka ["antum" dan "rajulun" yang secara simantik bermakna person yang secara sosial suka dan dapat dengan mudah bergerak] yang dibebani kewajiban memberi nafkah adalah mereka yang mempunyai modal/kapital sosial dan material yang lebih untuk mampu menjalankan kewajiban memberi nafkah. Oleh sebab itu, kewajiban memberi nafkah dalam keluarga sangat ditentukan oleh modal dan kemampuan ini. Di era sekarang, dunia sosial laki-laki dan perempuan cenderung semakin egaliter dan keluarga cenderung companionnate, akibatnya pembagian beban kewajiban tentunya harus mempertimbangkan konteks sosial ini. Wa Allah 'a'lam bi l-shawab. Noryamin Aini Montreal, Canada
0 komentar:
Posting Komentar