Semua orang pasti suatu saat akan mati, entah bagaimana caranya atau seperti apa matinya. Dan setiap orang pasti akan merasakan kematian, walaupun arti “merasakan” itu tidak sama dengan yang dipersepsi oleh orang yang hidup. Kematian adalah salah satu bagian dari kehidupan yang pasti dijalani, sama seperti kelahiran. Bedanya adalah yang pertama menandai akhir dari suatu kehidupan sedangkan yang terakhir menandai awal dari suatu kehidupan. Kelahiran dan kematian bisa diandaikan seperti ujung dari seutas tali yang bernama kehidupan, berbeda titik tetapi terentang sepanjang usia. Dan di tengahnya itulah kehidupan yang ada dan berada.
Kematian adalah suatu misteri. Banyak yang tidak tahu seperti apa dunia sesudah kematian. Tapi banyak juga yang percaya bahwa ada “kehidupan lain”setelah kematian. Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah akhir dari segalanya dan akhir dari eksistensi seseorang, dan setelah itu yang ada adalah ketiadaan. Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah awal dari suatu kehidupan baru dalam suatu bentuk siklus. Apapun kepercayaan yang dianut, tak ada seorang pun yang tahu seperti apa situasi dan kondisi sesudah kematian. Banyak yang mengandaikannya sebagai suatu kondisi “ketiadaan”, bahwa sebuah kematian adalah awal dari suatu ketiadaan, bertentangan dengan kelahiran yang dianggap sebagai awal dari suatu ketiadaan. Materialistik ? Memang benar, tetapi setidaknya itu yang sampai saat ini kita ketahui dengan “common sense” kita sebagai manusia. Dan sisanya adalah kepercayaan.
Bagi orang-orang tertentu, kematian haruslah dihadapi dengan suatu persiapan agar bisa memasuki suatu dunia lain dengan damai. Kematian, bagi mereka, adalah suatu istirahat terakhir dalam damai. Itulah mungkin di batu nisan orang yang telah mati dituliskan “Rest in Peace”, disingkat RIP. Bahwa kematian adalah suatu peristirahatan menuju kedamaian. Damai adalah kelanjutan dan padanan dari mati, karena kematian akan menuju kedamaian. Dan kedamaian adalah dambaan setiap orang, yang jika tidak ditemukan di dunia orang hidup, mungkin bisa ditemukan di “dunia” orang mati.
Orang yang telah mati juga dikatakan “telah meninggal dengan tenang”. Tentunya semua berkeyakinan, walaupun kadang tidak tahu karena bersifat sangat subyektif, bahwa orang yang akan mati “pasti” akan mati dengan tenang. Tidak pernah dikatakan “telah meninggal dengan terburu-buru” atau “telah meninggal dengan marah”, karena ketenangan adalah wajah suatu kematian. Dan walaupun orang yang mati telah mati dengan cara yang dan kondisi yang “tidak tenang”, tentunya mereka yang belum mati mengatakan hal yang lain : telah meninggal dengan tenang. Mungkin ada yang ditakutkan. Mungkin juga tidak siap untuk mati, dan mungkin juga berhubungan dengan kepercayaan.
Tetapi, saya yakin walaupun keyakinan saya ini mungkin juga pengambilan kesimpulan relalu dini, bahwa semua orang ingin kematian bisa dijalani melalui cara yang indah. Beradab dan bukan biadab, “terencana” dan bukan “di luar rencana”. Tentunya bagi orang yang akan mati, cara untuk mati itu sangat penting. Sekali lagi, agar dia bisa menghadapinya dengan tenang. Bagi orang lain juga penting. Tetapi yang ini punya banyak alasan. Ada dengan alasan emosi, keluarga, dan bahkan dengan alasan hak asasi manusia. Tetapi saya yakin, sekali lagi dengan penarikan kesimpulan dini yang sama, bahwa setiap orang didunia ini pasti ingin mati dengan indah, terhormat dan beradab. Caranya bisa berbeda-beda tiap orang. Juga kategori mati dengan cara yang tidak indah, tidak terhormat dan tidak beradab.
Lalu apakah yang terjadi jika kematian tidak terjadi dengan cara yang indah, terhormat, dan beradab ? Sebetulnya tidak terjadi apa-apa. Tetapi bagi orang yang lain, kematian model demikian akan meninggalkan masalah. Masalah bagi perasaan, terutama. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Dan pertanyaannya biasanya : mengapa harus seperti ini ?
Tetapi itulah yang terjadi. Setiap orang bisa merencanakan setiap detail dalam kehidupannya. Mungkin karena dia jagoan dalam hal perencanaan atau jagoan meramal. Tetapi orang tidak akan pernah bisa merencanakan dan meramal kapan dia akan mati dan seperti apa kematian yang harus dilakoninya itu. Semua serba misteri, sama dengan misteri sesudah mati.
Dan kematian, dalam kepercayaan sebagian orang, adalah awal dari suatu kehidupan. Kehidupan setelah mati yang diyakini akan damai dan penuh dengan ketenangan. Seperti suatu kutipan kalimat yang saya sudah lupa didapatkan dari mana, tetapi berbunyi :
Kematian adalah suatu misteri. Banyak yang tidak tahu seperti apa dunia sesudah kematian. Tapi banyak juga yang percaya bahwa ada “kehidupan lain”setelah kematian. Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah akhir dari segalanya dan akhir dari eksistensi seseorang, dan setelah itu yang ada adalah ketiadaan. Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah awal dari suatu kehidupan baru dalam suatu bentuk siklus. Apapun kepercayaan yang dianut, tak ada seorang pun yang tahu seperti apa situasi dan kondisi sesudah kematian. Banyak yang mengandaikannya sebagai suatu kondisi “ketiadaan”, bahwa sebuah kematian adalah awal dari suatu ketiadaan, bertentangan dengan kelahiran yang dianggap sebagai awal dari suatu ketiadaan. Materialistik ? Memang benar, tetapi setidaknya itu yang sampai saat ini kita ketahui dengan “common sense” kita sebagai manusia. Dan sisanya adalah kepercayaan.
Bagi orang-orang tertentu, kematian haruslah dihadapi dengan suatu persiapan agar bisa memasuki suatu dunia lain dengan damai. Kematian, bagi mereka, adalah suatu istirahat terakhir dalam damai. Itulah mungkin di batu nisan orang yang telah mati dituliskan “Rest in Peace”, disingkat RIP. Bahwa kematian adalah suatu peristirahatan menuju kedamaian. Damai adalah kelanjutan dan padanan dari mati, karena kematian akan menuju kedamaian. Dan kedamaian adalah dambaan setiap orang, yang jika tidak ditemukan di dunia orang hidup, mungkin bisa ditemukan di “dunia” orang mati.
Orang yang telah mati juga dikatakan “telah meninggal dengan tenang”. Tentunya semua berkeyakinan, walaupun kadang tidak tahu karena bersifat sangat subyektif, bahwa orang yang akan mati “pasti” akan mati dengan tenang. Tidak pernah dikatakan “telah meninggal dengan terburu-buru” atau “telah meninggal dengan marah”, karena ketenangan adalah wajah suatu kematian. Dan walaupun orang yang mati telah mati dengan cara yang dan kondisi yang “tidak tenang”, tentunya mereka yang belum mati mengatakan hal yang lain : telah meninggal dengan tenang. Mungkin ada yang ditakutkan. Mungkin juga tidak siap untuk mati, dan mungkin juga berhubungan dengan kepercayaan.
Tetapi, saya yakin walaupun keyakinan saya ini mungkin juga pengambilan kesimpulan relalu dini, bahwa semua orang ingin kematian bisa dijalani melalui cara yang indah. Beradab dan bukan biadab, “terencana” dan bukan “di luar rencana”. Tentunya bagi orang yang akan mati, cara untuk mati itu sangat penting. Sekali lagi, agar dia bisa menghadapinya dengan tenang. Bagi orang lain juga penting. Tetapi yang ini punya banyak alasan. Ada dengan alasan emosi, keluarga, dan bahkan dengan alasan hak asasi manusia. Tetapi saya yakin, sekali lagi dengan penarikan kesimpulan dini yang sama, bahwa setiap orang didunia ini pasti ingin mati dengan indah, terhormat dan beradab. Caranya bisa berbeda-beda tiap orang. Juga kategori mati dengan cara yang tidak indah, tidak terhormat dan tidak beradab.
Lalu apakah yang terjadi jika kematian tidak terjadi dengan cara yang indah, terhormat, dan beradab ? Sebetulnya tidak terjadi apa-apa. Tetapi bagi orang yang lain, kematian model demikian akan meninggalkan masalah. Masalah bagi perasaan, terutama. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Dan pertanyaannya biasanya : mengapa harus seperti ini ?
Tetapi itulah yang terjadi. Setiap orang bisa merencanakan setiap detail dalam kehidupannya. Mungkin karena dia jagoan dalam hal perencanaan atau jagoan meramal. Tetapi orang tidak akan pernah bisa merencanakan dan meramal kapan dia akan mati dan seperti apa kematian yang harus dilakoninya itu. Semua serba misteri, sama dengan misteri sesudah mati.
Dan kematian, dalam kepercayaan sebagian orang, adalah awal dari suatu kehidupan. Kehidupan setelah mati yang diyakini akan damai dan penuh dengan ketenangan. Seperti suatu kutipan kalimat yang saya sudah lupa didapatkan dari mana, tetapi berbunyi :
when life ends, the mistery of life beginsLogiskah hal itu ? Tentu saja tidak. Tetapi bukan logika yang dipakai disitu, tetapi hal yang lain. Apakah itu ? Banyak istilahnya, hati, perasaan, emosi, batin, jiwa, dan hal-hal lain diluar penalaran manusia dalam dikotomi logis-tidak logis. Logis-tidak logia itu urusan lain, tetapi untuk cara kematian, saya yakin dengan pengambilan kesimpulan dini yang sama, bahwa semua orang akan memilih cara mati yang indah, terhormat, dan beradab. Tidak perlu pakai logika-nirlogika disitu.
0 komentar:
Posting Komentar