Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon
istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini
menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun
sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk
uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar
adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang
dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta
oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di
masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi.
Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang
secara nominal tidak ada harganya.
Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat
oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal,
sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi
sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang
punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah,
kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda
berharga lainnya.
Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai
nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa
puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya
penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada
calon istrinya.
Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita
muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli
dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal
pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang
eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru
sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang
bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.
Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri.
Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran
sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia
tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan
mengganggu status perkawinannya.
Mahar Dengan Mengajar Al-Quran
Demikian juga bila maharnya adalah mengajarkan Al-Quran kepada istri,
tentu harus dibuat batasan bentuk pengajaran yang bagaimana,
kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada kitab
rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas,
selalu disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu
berbentuk pengajaran Al-Quran, juga harus ditetapkan batasannya.
Kejadian di masa Rasulullah SAW di mana seorang shahabat memberi mahar
berupa hafalan Al-Quran, harus dipahami sebagai jasa mengajarkan
Al-Quran. Dan mengajarkan Al-Quran itu memang jasa yang lumayan mahal
secara nominal. Apalagi kita tahu bahwaistilah ‘mengajarkan Al-Quran’
di masa lalu bukan sebatas agar istri bisa hafal bacaannya belaka,
melainkan juga sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan
ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-masing ayat tersebut.
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang
berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita itu berdiri
lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah
kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.”
Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia
berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau
berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah
sesuatu.” Dia berkata,” aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah
berkata, ” Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan
tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi,” Apakah kamu
menghafal qur’an?” Dia menjawab,”Ya surat ini dan itu” sambil
menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,”Aku telah
menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu” (HR Bukhori
Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda,”
Ajarilah dia al-qur’an.” Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa
jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal ini pada
gilirannya harus dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita sekarang
seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai nominal mahar yang akan
diterimanya.
Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama
Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal
mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa
minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama
mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.
Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil
Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat
dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya
dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi
kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu
memenuhinya.
Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang
tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai
permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya.
Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win
solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang
dirugikan.
Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal,
sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai.
Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah
anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami
mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas
TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami
menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh
mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan
lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai
100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.”
Bila Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu
Namun ada juga kelas masyarakat yang sangat tidak mampu, miskin dan
juga fakir. Di mana untuk sekedar makan sehari-hari pun tidak punya
kepastian. Namun dia ingin menikah dan punya istri.
Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti
keadaan ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi
bayar nafkah. Logika seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh
siapapun wanita yang akan menjadi istrinya.
Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan
nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa
mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho
dan rela atas mahar itu.
a. Sepasang Sendal Di masa Rasulullah SAW, kejadian mengenaskan
seperti itu pernah terjadi. Di mana seorang laki-laki yang sangat
miskin ingin menikah dan tidak punya harta apapun. Maka dibolehkan
mahar itu meski berupa sendal.
Dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah
dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya,
“Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?”
Dia menjawab,” Rela.” Maka Rasulullahpun membolehkannya (HR. Ahmad
3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).
b. Hafalan Quran:
Ada juga orang yang sangat miskin, tidak punya harta apapun, namun di
kepalanya ada ilmu-ilmu keIslaman, dia banyak hafal Al-Quran dan
mengerti dengan baik tiap ayat yang pernah dipelajarinya.
Maka atas ilmunya yang sangat berharga itu, dia boleh menjadikannya
sebagai sebuah ‘harta’ yang punya nilai nominal tinggi. Meski tidak
berbentuk logam emas. Kejadian itu benar-benar ada di masa Rasulullah
SAW.
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang
berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita itu berdiri
lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah
kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.”
Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia
berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau
berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah
sesuatu.” Dia berkata,” aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah
berkata, ” Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan
tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi,” Apakah kamu
menghafal qur’an?” Dia menjawab,”Ya surat ini dan itu” sambil
menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,”Aku telah
menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu” (HR Bukhori
Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda,”
Ajarilah dia al-qur’an.” Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa
jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
c. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa:
Bahkan bila seorang laki-laki tidak punya harta, juga tidak punya
ilmu, tapi tetap ingin menikah agar tidak jatuh ke dalam lembah zina,
boleh saja seorang wanita emngikhlaskan semua haknya untuk menerima
harta mahar.
Sebab mahar itu memang hak sepenuhnya calon istri, maka bila dia
merelakan sama sekali tidak menerima apa pun dari suaminya, tentu
tidak mengapa. Dan kejadian itu pun pernah terjadi di masa Rasulullah
SAW. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk
masuk Islam, lalu wanita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa.
Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahar untuknya.
Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim
berkata, ” Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak
lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal
bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam,
keIslamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut
lainnya.” Maka jadilah keIslaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam
pernikahannya itu. (HR Nasa’i 6/ 114).
Semua hadist tadi menunjukkan kasus kasus yang terjadi di masa lalu,
di mana seorang laki-laki yang punya kewajiban memberi mahar dengan
nilai tertentu, tidak mampu membayarkannya. Hadits-hadits di atas
tidak menunjukkan standar nilai nominal mahar di masa itu, melainkan
sebuah pengecualian.
Hal itu terbuktiketika Umar Bin Khattab Ra berinisiatif memberikan
batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara di atas mimbar.
Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera
saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan
sebuah ayat qur’an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan
berkata,”Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari
Umar.” Kemudian Umar kembali naik mimbar,”Sebelumnya aku melarang
kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan
lakukan sekehendak anda.”
Dalam konteks kebiasaan mahalnya mahar wanita di zaman itulah
kira-kira tepatnya hadits Rasulullah SAW berikut.
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,” Nikah yang paling besar
barakahnya itu adalah yang murah maharnya” (HR Ahmad 6/145)
Namun hadits ini perlu dipahami dalam konteks wanita di masa itu yang
sama sekali tidak mau bergeming dari tarif mahar yang diajukannya.
Sedangkan untuk konteks kita di Indonesia, di mana kebiasaan kita
memberi mahar berupa mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat yang
sangat murah, tentu perlu dipahami secara lebih luas.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini
menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun
sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk
uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar
adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang
dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta
oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di
masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi.
Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang
secara nominal tidak ada harganya.
Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat
oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal,
sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi
sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang
punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah,
kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda
berharga lainnya.
Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai
nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa
puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya
penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada
calon istrinya.
Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita
muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli
dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal
pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang
eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru
sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang
bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.
Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri.
Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran
sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia
tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan
mengganggu status perkawinannya.
Mahar Dengan Mengajar Al-Quran
Demikian juga bila maharnya adalah mengajarkan Al-Quran kepada istri,
tentu harus dibuat batasan bentuk pengajaran yang bagaimana,
kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada kitab
rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas,
selalu disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu
berbentuk pengajaran Al-Quran, juga harus ditetapkan batasannya.
Kejadian di masa Rasulullah SAW di mana seorang shahabat memberi mahar
berupa hafalan Al-Quran, harus dipahami sebagai jasa mengajarkan
Al-Quran. Dan mengajarkan Al-Quran itu memang jasa yang lumayan mahal
secara nominal. Apalagi kita tahu bahwaistilah ‘mengajarkan Al-Quran’
di masa lalu bukan sebatas agar istri bisa hafal bacaannya belaka,
melainkan juga sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan
ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-masing ayat tersebut.
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang
berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita itu berdiri
lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah
kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.”
Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia
berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau
berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah
sesuatu.” Dia berkata,” aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah
berkata, ” Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan
tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi,” Apakah kamu
menghafal qur’an?” Dia menjawab,”Ya surat ini dan itu” sambil
menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,”Aku telah
menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu” (HR Bukhori
Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda,”
Ajarilah dia al-qur’an.” Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa
jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal ini pada
gilirannya harus dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita sekarang
seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai nominal mahar yang akan
diterimanya.
Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama
Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal
mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa
minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama
mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.
Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil
Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat
dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya
dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi
kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu
memenuhinya.
Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang
tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai
permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya.
Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win
solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang
dirugikan.
Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal,
sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai.
Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah
anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami
mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas
TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami
menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh
mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan
lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai
100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.”
Bila Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu
Namun ada juga kelas masyarakat yang sangat tidak mampu, miskin dan
juga fakir. Di mana untuk sekedar makan sehari-hari pun tidak punya
kepastian. Namun dia ingin menikah dan punya istri.
Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti
keadaan ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi
bayar nafkah. Logika seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh
siapapun wanita yang akan menjadi istrinya.
Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan
nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa
mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho
dan rela atas mahar itu.
a. Sepasang Sendal Di masa Rasulullah SAW, kejadian mengenaskan
seperti itu pernah terjadi. Di mana seorang laki-laki yang sangat
miskin ingin menikah dan tidak punya harta apapun. Maka dibolehkan
mahar itu meski berupa sendal.
Dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah
dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya,
“Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?”
Dia menjawab,” Rela.” Maka Rasulullahpun membolehkannya (HR. Ahmad
3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).
b. Hafalan Quran:
Ada juga orang yang sangat miskin, tidak punya harta apapun, namun di
kepalanya ada ilmu-ilmu keIslaman, dia banyak hafal Al-Quran dan
mengerti dengan baik tiap ayat yang pernah dipelajarinya.
Maka atas ilmunya yang sangat berharga itu, dia boleh menjadikannya
sebagai sebuah ‘harta’ yang punya nilai nominal tinggi. Meski tidak
berbentuk logam emas. Kejadian itu benar-benar ada di masa Rasulullah
SAW.
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang
berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita itu berdiri
lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah
kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.”
Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia
berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau
berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah
sesuatu.” Dia berkata,” aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah
berkata, ” Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan
tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi,” Apakah kamu
menghafal qur’an?” Dia menjawab,”Ya surat ini dan itu” sambil
menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,”Aku telah
menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu” (HR Bukhori
Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda,”
Ajarilah dia al-qur’an.” Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa
jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
c. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa:
Bahkan bila seorang laki-laki tidak punya harta, juga tidak punya
ilmu, tapi tetap ingin menikah agar tidak jatuh ke dalam lembah zina,
boleh saja seorang wanita emngikhlaskan semua haknya untuk menerima
harta mahar.
Sebab mahar itu memang hak sepenuhnya calon istri, maka bila dia
merelakan sama sekali tidak menerima apa pun dari suaminya, tentu
tidak mengapa. Dan kejadian itu pun pernah terjadi di masa Rasulullah
SAW. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk
masuk Islam, lalu wanita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa.
Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahar untuknya.
Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim
berkata, ” Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak
lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal
bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam,
keIslamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut
lainnya.” Maka jadilah keIslaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam
pernikahannya itu. (HR Nasa’i 6/ 114).
Semua hadist tadi menunjukkan kasus kasus yang terjadi di masa lalu,
di mana seorang laki-laki yang punya kewajiban memberi mahar dengan
nilai tertentu, tidak mampu membayarkannya. Hadits-hadits di atas
tidak menunjukkan standar nilai nominal mahar di masa itu, melainkan
sebuah pengecualian.
Hal itu terbuktiketika Umar Bin Khattab Ra berinisiatif memberikan
batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara di atas mimbar.
Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera
saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan
sebuah ayat qur’an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan
berkata,”Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari
Umar.” Kemudian Umar kembali naik mimbar,”Sebelumnya aku melarang
kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan
lakukan sekehendak anda.”
Dalam konteks kebiasaan mahalnya mahar wanita di zaman itulah
kira-kira tepatnya hadits Rasulullah SAW berikut.
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,” Nikah yang paling besar
barakahnya itu adalah yang murah maharnya” (HR Ahmad 6/145)
Namun hadits ini perlu dipahami dalam konteks wanita di masa itu yang
sama sekali tidak mau bergeming dari tarif mahar yang diajukannya.
Sedangkan untuk konteks kita di Indonesia, di mana kebiasaan kita
memberi mahar berupa mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat yang
sangat murah, tentu perlu dipahami secara lebih luas.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
0 komentar:
Posting Komentar