Mungkin ragaku ada di sini, bersama dengan gelapnya malam dan nyanyian binatang malam, tapi jiwaku melayang jauh menembus batas waktu, terbang bersama dengan desiran debu. Aku sudah tidak bisa mengungkapkannya lagi bagaimana aku sangat menginginkanmu, semakin hari semakin dalam. Perasaan ini menguasaiku dan membuat logikaku tidak berjalan dengan baik. Aku seperti anak kecil yang kecanduan gula –gula, aku seperti seorang pemakai obat terlarang. Perasaan ini sudah sangat dahsyat hingga akhirnya aku tersungkur dan menyerah untuk mempertahankan ini semua. Tersungkur dengan kekuatannya, menyerah dengan tipudayanya dan menyingkir ke tepian di saat perasaan ini melaju dengan cepatnya.
Semua kata sudah tidak lagi bermakna ketika ruh dan jiwaku terbang bersama dengan perasaan ini. Sekitarku menganggap aku masih ada, tetapi sesungguhnya hampa. Hampa dengan perasaan sendiri dan terisi oleh bait – bait mantra cinta penuh makna. Aku berubah menjadi melankolis dan sangat posesif. Kecemasan yang berlebihan membuatku tersiksa. Ketakutan ini akan selalu ada, ketakutan saat – saat kita berpisah jiwa dan raga. Jiwa yang senantiasa ingin bersatu dan raga yang ingin bercumbu mesra. Anganku melayang jauh, jauh di atas awan. Diam tapi sesungguhnya bergerak, bergerak mencari makna yang hakiki. Membiarkan perasaan itu lepas dan berkeliaran di alam sadarku.
Saat – saat ini adalah saat yang sangat menakjubkan dalam hidupku, atau malah sebaliknya, saat yang memprihatinkan. Menakjubkan dengan makna yang tersirat dan terpaku dalam dada. Menakjubkan dengan semua gelora asmara yang bergejolak. Atau malah saat – saat paling memprihatinkan, saat dimana jiwaku tidak hadir menemani ragaku. Saat di mana setiap detik jiwa ini selalu ingin dekat denganmu. Jiwaku kosong dan meninggalkan raga ini sendirian di hutan belantara, tersesat dengan segala tipudayanya. Dadaku berdetak dengan kencang mendengar jeritan itu, jeritan dari kotak hitam kecil yang biasa aku gunakan untuk berkomunikasi. Ini tidak sepeerti biasanya, suara itu terasa sangat dahsyat dan membuatku terbangun dari lamunanku. Suara panggilan hp ku terasa sangat memekakan telinga dan menakutkan. Suara itu memecah semua anganku, angan yang sangat indah, bahkan terindah dalam hidupku. Angan yang selalu ingin bercengkrama dengan orang yang aku kasihi.
Kemarahan itu tidak ada dasarnya sama sakali, terlalu mengada – ada dan sangat tidak masuk akal. Biasanya kau diam melihat keadaan seperti ini, tapi sekarang justru kau terlalu agresif menindak keadaan yang mencoba dengan sekuat tenaga untuk memaknai waktu. Aneh memang, tiba – tiba saja berubah drastis. Masalah itu terlalu di besar – besarkan. Tidak sewajarnya amarah itu meluap dan bahkan membuat air matamu berurai membasahi pipimu. Terlalu menyakitkan buatku untuk mengetahui dan mendengar tangisanmu dari jauh. Tangisan tanda ketidakpuasan dan tangisan yang menyimpan sejuta makna. Makna yang belum sempat terungkap oleh sang waktu. Tahukah kau bahwa itu lebih menyakitkan buatku? Sakit karena tidak bisa memberkian solusi atas segala permasalahan yang sedang kau hadapi, berputar – putar dengan jawaban yang tak pasti dan dengan tetesan air mata yang membuatku tersadar. Tersadar dengan ketidak berdayaanku. Ketidakberdayaan menghadapi semua amarahmu yang tidak masuk akal, ketidak berdayaan karena tangisanmu dan ketidakberdayaan karena aku terjebak dalam belantara cintamu.
Aku tak ingin kita menjadi pasangan yang saling mencintai dan melupakan. Mencintai dengan sepenuh hati atas jiwa dan raga kita sehingga perasaan posesif itu merangkak ke dalam jiwa kita. Pasangan yang saling mencintai dan melupakan, melupakan tentang keagungan Allah SWT dan atas ancaman-Nya yang sangat dahsyat. Dengan nyala neraka yang menggetarkan jiwa kita, apakah kita masih pantas untuk saling mencintai dan melupakan? Mencintai atas raga dan melupakan atas cinta Allah SWT.
Mungkin raga kita bisa menyatu dalam imajinasi kita, tapi jiwa kita masih bebas. Belum ada pertalian suci yang mengikat kita, membungkus perasaan ini dengan jalan yang suci. Sejenak kita tersenyum tapi kemudian menangis, kita bahagia tapi kemudian bersedih. Begitulah keadaannya saat jiwa kita menyatu tetapi raga kita masih terbang bebas. Yang ada hanya diam tetapi bergerak. Diam dengan raganya tetapi bergerak dengan jiwanya, begitulah cinta kita sekarang, cinta yang masih terlarang dan menunggu hingga saat itu tiba. Duhai ukhti, masih bertahankan kau menungguku di sana?
0 komentar:
Posting Komentar