Republika Online terbitan Kamis, 22 Juli 2010 (Reportase Oleh: EH Ismail dari Jalur Gaza, Palestina), saya terenyuh, sedih, kagum dan salut. Dan saya pikir isinya sangat luar biasa. Isinya mengandung inspirasi yang luar biasa bagi umat muslim khususnya bagi umat muslim di Indonesia yang notebene mayoritas penduduknya adalah muslim dan katanya negera yang memiliki persentase muslim terbanyak di dunia. So, saya share aja disini.
Delapan remaja berusia 15-18 tahun sedang duduk melingkar saat saya berkunjung ke Masjid Al Abror di Rafah, wilayah Gaza, Palestina. Tangan mereka memegang kitab suci Alquran. Ada yang berukuran kecil, ada yang berukuran sedang, dan ada pula yang berukuran besar.
Sepandangan mata, mereka membaca Alquran yang ada di tangan. Sekejap kemudian, Alquran ditutup dan mulutnya mengulangi ayat-ayat yang baru saja dibaca dengan mata terpejam. Gerakan itu dilakukan berulang-ulang. Di samping mereka, ada lingkaran anak-anak lain yang melakukan hal sama. Di hadapan para remaja ini, duduk Hasan Ali Al Azajy (47 tahun). Di depan Hasan, ada Alquran besar terbuka. Alquran dalam posisi setengah berdiri di atas meja kecil.
Di sisi lain masjid, sejumlah anak duduk berbaris memanjang berjarak satu meter, seperti antrean. Di hadapan mereka, ada seorang ustaz yang meletakkan Alquran sama seperti yang dilakukan Hasan. Hasan dan juga ustaz lainnya memanggil satu per satu anak itu ke hadapan mereka. Anak-anak pun maju tanpa Alquran lagi di tangan. Di hadapan para ustaz, mulailah mereka membaca ayat-ayat Alquran yang baru saja dihafalnya.
Pemandangan seperti di Masjid Al Abror, saya jumpai setiap hari di sejumlah masjid di Rafah. Kebetulan, saat ini adalah musim liburan sekolah. Kebanyakan anak dan remaja Gaza berkumpul di masjid selepas shalat Subuh sampai waktu Zuhur untuk mengikuti sekolah menghafal Alquran yang diadakan para pengurus masjid.
Saya sudah mendengar berita tentang sekolah ini sebelum bertugas ke Gaza. Mulanya, saya tak percaya banyak generasi belia Gaza mampu menghafal seluruh ayat Alquran dalam waktu dua bulan. Tapi, sekarang saya menyaksikan sendiri sejumlah anak dalam waktu tiga jam bisa hafal satu juz Alquran! Padahal, dia hanya membaca sekelebat dan kemudian mengulanginya di hadapan sang ustaz. Sungguh luar biasa.
Hal yang membuat saya lebih terperangah adalah kondisi lingkungan mereka menghafal Alquran yang jauh dari kata sepi dan sunyi. Masjid Al Abror terletak di tengah-tengah pasar yang ramai dengan aktivitas dagang penduduk Rafah. Saat saya datang, bunyi mesin bor menderu di sekitar mereka. Masjid yang hancur karena serangan roket Israel pada dini hari 15 Januari 2009 itu sedang direnovasi.
Keramik-keramik lantai masjid belum terpasang kembali. Atap pembatas antara lantai satu dan lantai dua masjid juga masih menganga. Lubang bekas hantaman roket dan kipas angin yang menggelayut di atap masih terlihat jelas. Anak-anak itu harus belajar beralas tikar. “Walaupun sedang renovasi, kami tak ingin anak-anak kehilangan waktu untuk belajar dan menghafal Alquran. Biar saja sementara pakai tikar dan masih berpasir,” ujar Syekh Abu Mansoor, imam masjid Al Abror.
Di sebelah selatan Masjid Al Abror, saya mampir di Masjid Ibadurrahman. Masjid dua lantai ini memiliki bangunan yang jauh dari kesan megah. Di lantai pertama, pemandangan sama seperti di Masjid Al Abror kembali saya temui. Namun, jumlah anak dan remaja yang tengah menghafal Alquran lebih banyak. Di lantai dua masjid, kerumunan anak-anak dan remaja putri juga tengah mengikuti sekolah menghafal Alquran.
Saat mencoba melongok ke lantai dua masjid, saya berbicara dengan sejumlah ustazah guna mencari tahu rahasia kemampuan murid-murid mereka dalam menghafal Alquran secara cepat. Seorang ustazah menerangkan, mereka bersyukur kepada Allah yang telah melahirkan mereka di negeri yang mempunyai bahasa Arab sebagai bahasa ibunya. “Bahasa Arab, bahasa Alquran, adalah bahasa kami. Kami bersyukur atas berkah ini. Sekarang, kami ingin menjadi bagian dalam upaya memelihara kemurnian dan mukjizat Alquran,” papar ustazah yang tak saya ketahui wajahnya itu.
Tengah asyik mendengar penjelasan sang ustazah, seorang gadis mungil berlari sambil membawa secarik kertas ke hadapan saya. Di atas kertas buku yang sobek itu, tertera barisan kata-kata dalam bahasa Inggris. Si gadis pun membacakan tulisannya di hadapan saya. We are very happy to see you in our country Palestine. We are reading our Holly Book (Quran). Certainly Quran is protected in our hearts, chests, minds, and tongues. Help us to be the best Muslims in the world.
Saya ingin memeluk gadis itu kalau tak sadar banyak wanita bercadar di sekeliling saya. Saya pun hanya membelai kepala sang gadis dan membisikkan kata:
“Insya Allah, I will help you my little beautiful sister.” Semuanya pun tertawa riang.
Gadis itu bernama Aya Saad Abu Jazair. Usianya baru 13 tahun dan dia adalah anak terpandai di sekolah dalam menghafal Alquran di Masjid Ibadurrahman. Sambil bergurau, sang ustazah berkata, “Saya yakin, hafalan Alqurannya lebih baik dari Anda, saudaraku dari Indonesia.”
Saya pun mencoba memastikan tebakan sang ustazah. Saya ambil Alquran kecil dalam tas dan membaca sembarang ayat yang saya buka. Begitu satu ayat saya baca, Aya Saad pun melanjutkan ayat selanjutnya tanpa kesalahan sama sekali! Saya coba lagi dengan menyebutkan nama surah Almukminuun, lagi-lagi Aya Saad melafalkan ayat-ayat dalam surah itu dengan sempurna. Kami pun tertawa kembali.
Pimpinan Yayasan Darul Quran dan Sunah Rafah, Soleh Ibnu Mansoor (Abu Hakim), mengatakan, saat ini lebih dari 40 ribu anak-anak dan remaja Gaza hafal Alquran. Abu Hakim meyakini, menghafal Alquran bukanlah soal ada atau tidak ada waktu. Bukan pula soal bisa atau tidak bisa bahasa Arab. Kuncinya, semangat dan keimanan yang menjadi bahan bakar utama. “Anda lihat sendiri, tidak ada yang luar biasa yang kami lakukan untuk menghafal Alquran. Anak-anak hanya duduk membaca, kemudian mengulanginya dengan kesungguhan hati,” papar Abu Hakim.
Dia melanjutkan, tertanamnya keyakinan dalam dada anak-anak Gaza—hanya Alquran yang bisa menyelamatkan mereka dari semua cobaan hidup di dunia dan mengantarkan mereka dalam kehidupan bahagia di akhirat kelak—merupakan faktor utama cepatnya kemampuan menghafal Alquran. “Kami juga yakin, Alquran wasilah kami untuk menjadi Muslim yang tangguh dan terus menegakkan Islam di dunia ini,” ucap Abu Hakim.
***
Kagum dan salut rasanya dengan perjuangan mereka. Mereka mampu berbuat sesuatu yang luar biasa di saat berada di bawah tekanan. Mereka berkembang di bawah tekanan. Berjuang dan terus berjuang. Berjuang untuk turut serta dalam mejaga Qalamullah di tengah kekejaman penjajahan Zionis Israel. Coba bandingkan dengan diri kita. Sudahkah kita berusaha dengan hal yang sama dengan perjuangan mereka? Atau setidaknya sudahkah kita membaca Qur’an setiap harinya? Atau setidaknya sudahkah kita berusaha memperbaiki bacaan Qur’an kita?
Tidak sedihkah kita terhadapa diri kita sendiri? Fasilitas lengkap, suasananya kondusif, kondisi aman, dan berbagai kemudahan lainnya yang kita alami di negeri ini tetapi kita masih belum mampu untuk berbuat lebih dari mereka atau setidaknya berbuat yang sama dengan mereka.
Tidak malukah kita kepada anak-anak itu? Masya Allah, anak-anak itu bersemangat dan bahkan belomba-lomba untuk tidak hanya mengkhatamkan Al Qur’an selama Ramadhan, tapi juga menghafalnya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengkhatamkan Qur’an di bulan Ramadhan? Atau sudahkah kita mempercayai dan mengimani Al-Qur’an sebagai Kitab suci kita?
Kalau memang kita beriman berarti kita percaya kepada janji Allah tentang keutamaan orang yang membaca dan atau menghafalkan Qur’an. Dan kalau kita percaya seharusnya kita termotivasi untuk itu. Adakah kita termotivasi? Tanyakan pada diri kita masing-masing.
Mari kita renungkan dan berusaha berbuat lebih baik lagi. Semoga Allah senantiasa menggerkkan hati kita untuk selalu mengimani, membaca, menghafalkan, dan mengamalkan ayat-ayat Allah nan indah itu. Aaamiyn…
0 komentar:
Posting Komentar