Rumah Hati untuk Sang Suami

Dengan langkah lunglai, kumasuki pekarangan rumah. Ada perasaan tak nyaman ketika membayangkan memasuki rumah yang telah sepuluh tahun kutempati ini. Bukan karena penghuninya, melainkan karena beban hati yang sedang kuhadapi. Masalah ini sepertinya menyita kedamaian yang bercokol di dalamnya. Sejenak kuhentikan langkah di depan pintu. Mengambil nafas panjang dan kuputar gagang pintu. Suara berderit terdengar, pertanda engselnya telah lama tidak diberi minyak. Aku menangkap deritan itu serupa suara hatiku sekarang ini. Terdengar pilu dan teramat menyedihkan.
Keadaan rumah sepi. Rupanya sang istri sedang memasak di dapur. Si kecil tak diketahui rimbanya, mungkin sedang bermain bola bersama kawan-kawannya di tanah lapang ujung perumahan. Ah, kurebahkan diri di kursi dari anyaman rotan. Lagi-lagi terdengar suara berderit ketika beban tubuhku menimpanya. Aku jadi merasa tersindir. Gampang sekali hari ini suasana hatiku terbawa amarah. Padahal sebelumnya tak pernah seperti ini. Jiwaku pun mudah labil. Terguncang tidak pada tempatnya. Aku mengepalkan tangan lalu meninju pahaku yang tak bersalah.
“Ada apa sih, Pak. Kok kelihatannya kesal gitu,” terdengar suara istriku dari balik ruang dapur. Aku tahu saat ini ia pasti sedang membuatkan kopi untukku setelah pulang kerja, kebiasaan yang tak pernah ditinggalkan semenjak kami menikah sepuluh tahun yang lalu.
“Nggak ada apa-apa, Bu,” suaraku terdengar berat, seperti ada beban yang menguntitnya. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, lalu kutarik ke atas menyapu rambut. Inilah kebiasaanku kala dilanda masalah yang cukup berat. Kuambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Menenangkan diri.
“Ini diminum dulu,” istriku beranjak keluar dari dapur, menghampiriku lalu mengulurkan secangkir kopi hitam dan meletakkannya di meja. Setiap melihat senyuman istriku, sejenak masalah pastilah musnah berganti dengan kedamaian hati. “Aku tahu Bapak sedang ada masalah.Ceritakan saja, Pak. Barangkali istrimu ini bisa membantu,” tawarnya.
Aku mendesah. Kualihkan pandanganku ke langit ruangan. Sebenarnya aku tak ingin istriku tahu permasalahan ini. Aku tak ingin melenyapkan senyuman di wajahnya, tapi mau tak mau suatu waktu memang harus kuungkapkan. Segera. Karena ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut.
“Ya udah kalo begitu. Mandi dulu. Handuknya ada di kamar. Tadi barusan dicuci dan dijemur.”
Seulas senyuman kukembangkan membalas perhatiannya. Aku beranjak ke kamar, mengambil handuk, lalu pergi ke kamar mandi. Air kran kubuka. Sebenarnya aku sangat bahagia memiliki istri seperti dia. Cantik, penuh senyum, riang, pengertian, dan juga penuh cinta. Rumah sederhana ini seakan mampu dibuatnya menjadi sebuah surga, dengan seorang bidadari dan pangeran kecil bersamanya. Membuat nyaman penghuninya tak terkecuali para tamu yang singgah ke sini.
Rumah ini hanya berukuran 36 m2. Dua kamar tidur di samping, satu kamar mandi di sudut ruangan, dan satu ruang tamu. Sedang ruang dapur ada di bagian belakang rumah. Terbuka, hanya berdinding seng. Satu pintu dan dua jendela menghadap di muka. Seluruh dinding ruangannya bercat putih. Di halamannya ada sebuah taman tak lebih berukuran 12 m2. Berhiaskan kembang melati juga mawar yang dirawat oleh istri.
Rumah ini berada di pinggiran kota. Kami mencicilnya sepuluh tahun yang lalu semenjak menikah. Kini tinggal hitungan lima tahun lagi kami genap melunasinya. Bagi kami, rumah ini adalah rumah surga. Tempat menumpahkan segala duka lara. Tempat merajut mimpi bersama.
Aku tersadar dari lamunanku. Air di bak mandi meluap bebas. Segera tanganku menjangkau mematikan kran. Kugelengkan kepala. Handuk yang melilit leher, kusampirkan. Tak bersegera mandi malah menyandar punggung di tembok, melamun lagi. Kali ini pikiranku kembali melayang peristiwa siang tadi. Tanganku kembali mengepal bila mengingatnya. Tanpa alasan yang jelas atasanku meminta maaf lebih dahulu sebelum membuka percakapan. Aku kurang mengerti maksudnya. Kemudian dengan muka menunjukkan rasa duka ia mulai membuka dengan beberapa kalimat, “Maaf, Pak Yusuf. Sepertinya perusahaan ini sedang mengalami krisis. Maka dari itu untuk mempertahankannya, kami memutuskan untuk merumahkan sementara beberapa karyawan. Setelah melalui pertimbangan, maka Pak Yusuf pun turut. Maaf.”
Rasanya apa yang dikatakan atasanku mengambang. Apakah aku yang salah dengar? “Maaf, Pak Her. Benar saya akan dirumahkan? Setelah dua belas tahun turut andil membesarkan perusahaan ini. Bekerja semenjak perusahaan ini berdiri!” aku menyebut jasa-jasaku agar mungkin Pak Her mencabut pernyataannya. Tetapi apa yang kudengar kemudian membuat tubuhku semakin lemas. “Kami sudah mempertimbangkan matang-matang. Keputusan ini sungguh berat bagi kami. Namun tak ada jalan lain. Kumohon Pak Yusuf mengerti.”
Kutinggalkan ruangan kantor itu dengan kepala tertunduk lesu. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya hingga suara serak. Kutahan seluruh kekecewaanku. Kusapukan senyum kepada semua orang yang kutemui di kantor itu. Ini adalah hari terakhir. Sepantasnya aku memberikan kesan mendalam kepada mereka.
Aku menuju ke bagian administrasi untuk menerima pesangon. Kububuhkan tanda tangan di kwitansi lalu menghambur ke luar ruangan. Kupandangi bangunan perusahaan, rasanya baru kemarin aku masuk kerja di sini. Aku kini serasa bebas. Tak ada lagi ikatan waktu yang membelenggu sebagai seorang karyawan. Kuraba sebuah amplop yang masuk ke tas kerja. Jumlahnya lumayan untuk menafkahi keluarga selama dua bulan ke depan. Jadi aku tak terlalu rumit memikirkannya sekarang, namun apakah istriku akan siap menerima semua ini. Suaminya kini telah berstatus pengangguran? Bagaimana juga nasib Si Kecil, tentang sekolahnya?
“Pak. Udah belum? Budi mau gantian mandi nih,” panggilan Budi dari luar membuyarkan lamunanku. “Sebentar lagi yah,” balasku.
Air dingin segera mambasuh kepalaku. Dinginnya mendamaikan seluruh pikiran. Entah kenapa setiap kali mandi aku merasa lebih tegar. Suasana hati yang rumit kini telah lenggang. Benar juga kata istriku agar aku mandi dulu. Sehabis ini pasti akan ketemuinya dan mengajaknya mengobrol.
Kubenahi pakaian dan memburu ke ruang depan. Ternyata istriku telah menunggu sedari tadi. Senyumnya masih belum surut. “Gimana, agak baikan kan?” ucapnya. Aku tersipu.
Nafas panjang kuhembuskan, membuang beban pikiran yang menghimpit. Dengan pelan akan kukatakan apa yang sedang menjadi masalahku sekarang ini, namun aku bingung harus memulainya dari mana.
“Hmm, bila seseorang menitipkan kita sebuah rumah. Di dalamnya kita bisa mengerjakan sesuatu yang barangkali bisa disebut impian. Lalu karena suatu hal, misalnya empu rumah ingin menjualnya karena sedang butuh duit sehingga kita tak bisa menempati rumah itu lagi. Ikhlaskah kita, Bu?”
Istriku hanya mengangguk. Tak mengucap sepatah apapun. Aku belum bisa menerka apa isi hatinya. Terkadang perasaan perempuan memang sulit ditebak. Mungkin karena yang kubicarakan ini hanya soal rumah yang dititipkan, bukan tentang pekerjaan.
“Kalau yang dititipkan itu adalah sebuah pekerjaan?”
Istriku mendongak. Air mukanya menjadi datar. Alis di keningnya diangkat. Matanya menatap tajam ke arahku. Aku jadi merasa tak nyaman. “Iya, Bu. Maksudku aku dirumahkan karena perusahan sedang merugi hingga ratusan karyawan menjadi korbannya,” kujelaskan apa yang menjadi penyebabnya agar istriku bisa memakluminya.
Bisa kuterima bila ia akan menumpahkan kekecewaannya atau pun ngambek dengan pernyataanku ini. Namun belum ada reaksi apapun. Kami terdiam. Hening. Tak ada percakapan di antara kami. Aku membayangkan surga ini sesaat lagi menjadi neraka bagiku. Semua kebahagian akan berubah menjadi duka gara-gara pekerjaan.
Masih kutunggu jawabannya. Istriku masih diam. Mungkin ia belum siap menerima semua ini atau jangan-jangan shock berat! Ingin kutinggalkan ruangan ini juga rumah ini untuk sementara waktu.
Aku beranjak dari kursi. Membalikkan badan dan terdengar panggilan lirih istriku. Aku mematung. Tiba-tiba sebuah pelukan mendarat di punggungku. Ada rembesan hangat terasa di balik baju.
“Maafkan, Bu. Bila aku telah membuat kecewa.”
“Tak ada yang salah, Pak. Aku bisa menerima semuanya. Aku tak ingin Bapak bersedih terlalu lama memikirkan masalah pekerjaan ini. Aku siap membantu apapun yang terjadi. Suka duka kita siap berbagi bersama.”
Pelukan istriku semakin kuat, hingga aku bisa merasakan detak jantungnya. Air mataku menuruni tebing pipi. Tak dapat kutahan haru ini. Kini aku mengerti, tak ada perhiasan terindah di dunia ini melebihi seorang istri yang shalehah.
Kulepaskan pelukannya. Kubalikkan badan dan kupandangi wajah sendunya. Nampak sebuah senyuman merekah dari bibirnya. Dua detik kemudian kukecup keningnya dengan lembut. “Makasih, Bu, untuk semuanya.”
Aku merasa damai. Istriku tidak saja pandai menjadikan rumahnya seperti surga. Bahkan hatinya telah lama menjadi rumah hati untukku, rumah hati untuk sang suami. Tempat kembali semua rasa, suka maupun duka. Tempat mendamaikan segala lara.

http://kotasantri.com/pelangi/pernik/2011/02/20/rumah-hati-untuk-sang-suami

0 komentar:

Posting Komentar

 free web counter Counter Powered by  RedCounter

About this blog

Semoga media ini bisa menambah timbangan amalku di akhirat kelak, Amiin Ya Rabbal 'alamiin. kirimkan kritik dan saran ke alamat penjagaquran@gmail.com

Buletin Jum'at

Fatwa Rasulullah

Doa dan Dzikir Rasululah SAW

Biografi Tokoh

1 day 1 ayat

Download


ShoutMix chat widget
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku